SuaraCianjur.id- Melakukan hubungan intim pasangan suami istri merupakan sebuah kebutuhan yang wajar dilakukan. Namun bukan berarti ini dapat dilakukan sesuka hati walaupun sudah menikah secara sah.
Pemaksaan hubungan seksual dalam pernikahan, ketika salah satunya memiliki halangan atau enggan bisa menjadi pemicu awal dari kekerasan dalam rumah tangga.
Hal ini disebabkan karena adanya pengabaian yang memungkinkan adanya paksaan untuk berhubungan intim bagi pasangan yang sudah terikat dalam hubungan pernikahan.
Asumsi bahwa persetujuan mengenai hubungan seksual sudah disepakati ketika seseorang telah menikah ini terbentuk karena stigma yang melekat kuat pada masyarakat Indonesia.
Baca Juga:Dicekik Rizky Billar Pita Suara Lesti Kejora Terancam Rusak
Padahal, persetujuan harus dilakukan dari kedua belah pihak, bahkan ketika sudah menjadi pasangan suami isteri sah.
Tindakan pemaksaan ini dapat menjadi cikal bakal dari perilaku marital rape atau pemerkosaan dalam pernikahan. Fenomena ini sudah menjadi isu sosial di berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia.
Menurut European Institute for Gender Equality, inti dari marital rape adalah tidak adanya kesepakatan bersama atas suatu bentuk hubungan seksual. Struktur masyarakat yang patriarki menganggap bahwa seorang istri adalah property yang dimiliki oleh suami sehingga dapat diperlakukan sesuka hati, termasuk melakukan hubungan seksual.
Sayangnya, struktur masyarakat yang patriarki ini melekat sangat kuat di masyarakat Indonesia. Padahal tindakan ini sudah diatur oleh hukum pidana, sehingga diharapkan dapat melindungi para korbannya.
Seperti yang tertera pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PDKRT).
Baca Juga:Pita Suara Lesti Kejora Terancam Rusak Akibat KDRT dari Rizky Billar, Bila...
“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbunya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Pasal tersebut juga dipertegas dengan adanya Pasal 5 UU PKDRT, yang berbunyi “ Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya”.
Kekerasan yang dimaksud dalam kedua pasal tersebut adalah salah satunya kekerasan seksual, yang meliputi pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga. Hukuman yang diberikan kepada pelaku pelanggaran pasal tersebut diatur dalam Pasal 8 huruf a UU PKDRT.
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Kontributor : Safira Fauziah