SuaraCianjur.Id- Trauma bonding atau ikatan trauma merujuk pada ikatan emosional yang terbentuk antara korban dan pelaku kekerasan, terutama dalam hubungan yang bersifat intim atau keluarga.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh ahli psikologi Patrick Carnes pada tahun 1997 dalam bukunya yang berjudul "The Betrayal Bond: Breaking Free of Exploitive Relationships".
Trauma bonding seringkali terjadi pada korban kekerasan yang mengalami penindasan secara berulang oleh orang yang sama.
Hal ini terjadi karena korban merasa terperangkap dalam situasi yang sulit untuk keluar, merasa tergantung pada pelaku kekerasan, dan merasa takut kehilangan hubungan tersebut.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Stosny dan Mastors pada tahun 2010, trauma bonding terjadi karena adanya perpaduan antara hormon stress dan hormon cinta, yaitu kortisol dan oksitosin.
Hormon kortisol diproduksi sebagai respons terhadap stress, sementara oksitosin diproduksi saat kita merasakan kasih sayang dan perhatian dari orang yang kita cintai.
Kombinasi dari kedua hormon ini dapat membuat korban merasa terikat emosional pada pelaku kekerasan, bahkan ketika kekerasan tersebut merugikan diri mereka sendiri.
Jika Anda mengalami trauma bonding atau mengenal seseorang yang mengalami hal tersebut, penting untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental atau kelompok dukungan korban kekerasan.
Dengan dukungan dan terapi yang tepat, korban dapat memecahkan ikatan trauma dan memulihkan diri dari pengalaman yang menyakitkan. (*)
(*/Haekal)